Monday, January 19, 2009

Newborn ; Part 1

19 January 2009



Tepat tanggal 19 January 2009, saya memulai babak baru dalam kehidupan saya. Bukan hal yang besar - sangat kecil malahan, untuk ukuran orang lain. Tetapi tidak buat saya, setelah 9 tahun lebih mengandung , hari ini saya melahirkan. Kelahiran "buah hati" yang membuat hati saya berdegup kencang tidak keruan. Sembilan tahun bukan waktu yang sebentar untuk membuat saya enggan meninggalkan zona nyaman saya.


Berangkat selepas subuh, sesekali sempat menyeruput teh manis panas dan segigit roti gandum isi mentega meisyes atau selai stroberi kesukaan saya, bergegas menuju mobil jemputan omprengan, tertidur di mobil jemputan atau bis - sesekali ngobrol ringan sampai seru dg teman jemputan, sampai kantor, Log in dlm network, membaca email kadang disertai menelepon rumah dan ngopi, komunikasi dg para vendor dan user, bikin agreement - PO dan temen temennya , diselingi dg ber YM ria dg sesama temen kantor , blogger or MPer, makan siang rame rame dan ngobrol, kerja lagi, meninggalkan kantor , siap siap nunggu bis or jemputan, sampai rumah , main sama anak ngobrol sama suami, tidur. Selesai. Keesokan harinya mengalami rutinitas yang hampir sama - hampir 9 tahun belakangan ini. Di suatu Zona nyaman ini - di perusahaan yang sama ini.


Paling banter saya pindah gedung beberapa kali, pertamakali di Deutsche Bank Bld di dekat bundaran HI, kemudian di Menara Mulia di Gatot Subroto dan terakhir di Beltway Office Park di bilangan Ampera - Tb Simatupang. Belum pernah ganti bos. Hidup saya pun tidak banyak berubah dan agak monoton, pertamakali kerja masih gadis, menikah dengan lelaki yang sampai detik ini sangat saya cintai , punya anak 1 kemudian punya anak 2 yang semuanya menjadi princess di hati saya. Mensyukurinya. Pasti.


Bosankah ? sering. Sempet bikin CV kemana mana, akhirnya pilihan tetap di zona nyaman saat itu. Terbersit untuk wirausaha, sesekali muncul sebersit keinginan untuk wirausaha, tapi itupun buru-buru padam membayangkan sesuatu menakutkan dg hal yg selalu menempel di sesuatu yg bernama wirausaha. Bukan berarti saya tidak pernah mencoba, pernah jualan baju hangat, baju anak, jual beli tanah, pernah juga jualan panci teflon, sempat jualan stroberi, macem macemlah, tapi yaitu tidak fokus dan tidak pernah serius. Hasil keuntungannya untuk dibelanjakan hal yang sebetulnya saya tidak perlu.


Niat wirausaha sudah saya miliki sejak sebelum saya menikah. Obsesi pengen punya warteg pun sudah muncul sejak tahun 1999. He...he..heh sederhana ya keinginan saya. Punya Warteg, iya tidak salah baca kok "Warung Tegal".
Tapi buat saya itu gak mudah. Sulit. Sangat sulit. Buktinya sampai 9 tahun belum terwujud cita -cita saya itu.
Krisis global yang melanda Amerika dan Eropa saya sambut dingin-dingin saja, sampai pada suatu hari kami dikumpulkan di boardroom oleh presiden direktur kami. Dengan wajah tampannya dan senyuman khas, beliau memberitahu dg sangat halus dan hati hati bahwa anything can happened. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi di Indonesia dalam waktu dekat. Ini diumumkan awal desember lalu.
Sejak saat itu saya terus terang agak panik, untunglah saya punya pendamping hidup yang sangat hebat. Beliau berusaha menenangkan kepanikan saya dan menyemangati saya. Stay cool please, katanya disetiap kepanikan saya mulai melanda. Berserahlah kepada Allah selepas kita berusaha keras.
Hari demi hari saya buat surfing didunia maya, cari peluang usaha , ngobrol dg berbagai kalangan dari tukang roti, tukang nasi padang , teman kantor, berjalan -jalan ke berbagai pusat bisnis, semuanya berbau mencari peluang usaha. Ternyata bukan hal yang mudah ya, memulai suatu usaha tanpa ada suatu ketrampilan khusus yang dipunyai.
Singkatnya saya sampai pada sebuah ide. Rasanya seperti dejavu dg cita cita 8 th yang lalu. Ingin memiliki sebuah warung. Ya...warung makan, warung nasi, warung tegal..........????. Untuk sampai ke ide ini saja sudah sulit setengah mati. Apalagi dilanjutkan dg pemikiran yg lainnya....bikin warung makan lokasinya dimana? Sewa atau bagaimaan? mahal atau tidak? tenaga kerjanya gimana? Gaji mereka berapa dan yang penting modalnya bagaimana? Berpuluh puluh tanda tanya selalu memenuhi rongga kepala saya di bulan bulan terakhir ini.
Ternyata semua akses dan jalan menuju warung makan mentok...tok ...tok. The big problem is Saya tidak punya modal. Halah. Trus gimana? Otak saya berputar - putar lagi laksana roll coaster, akhirnya nemu ide "gila". Bisa gak ya punya warung hanya bermodalkan modal dengkul?. Dalam hati saya bilang. Harus. Saya meyakinkan sisi kalbu saya yang lain bahwa saya harus bisa.
To Be Continued


No comments: